Senin, 02 Juli 2012

REMAJA BUTUH AKAR YANG KUAT








Remaja membutuhkan akar yang kuat berupa pembinaan akhlak bukan hanya sekedar bisa membaca Al-Quran tanpa memahami makna, ujar pak Bakhtiar seorang pembina Rohis SMP 91

          Lelaki berkantung mata tebal tampak bersemangat memberikan pembinaan pada siswa/i SMP 91, Jakarta Timur, yang dilaksanakan setiap sabtu. Dulu, sangat terbantu oleh kakak alumni yang turut melakukan pembinaan berkelompok, namun kini semua sudah berkeluarga, ujarnya. Tidak hanya di tingkat SMP, pembinaan kelompok pun terdapat di beberapa rohis Sekolah maupun tingkat universitas. Pembinaan ini biasa disebut menthoring atau focus group discussion. Hampir semua yang mengikuti pembinaan ini mengalami perubahan, terutama dalam moral, kemudian dari segi pakaian dan pandangan semakin syar'i. Lain hal nya di tingkat SMA dan SMP. Pembinaan pada ranah Madrasah baik MTS maupun MAN tidak begitu berkembang sebagaimana mentoring yang ada di SMA maupun SMP. Ada kemungkinan karena MTS dan MAN sudah hampir setiap hari memberikan pelajaran agama. Jadi, mentoring tidak menarik lagi, mereka membutuhkan pembinaan yang lebih ke arah skill. Pelajaran Agama yang diberikan oleh madrasah kebanyakan lebih ke arah pengetahuan, sedangkan remaja kita sangat membutuhkan pemahaman bukan sekedar pengetahuan agama. Mentoring itu membina akhlak, menyucikan jiwa, dan memperdalam pemahaman bukan sekedar pengetahuan, ujar alumni MAN yang pernah merasakan mentoring. Meskipun sudah lengkap dengan pengetahuan agama, namun siswa/i madrasah banyak yang kering akan pemahaman agama. Jadi apabila mentoring itu sudah tidak menarik lagi karena siswa/i madrasah sudah lebih banyak pengetahuan agama, jelas itu tidak tepat, karena mereka masih kering akan pemahaman, terbukti dari alumni madrasah yang mengikuti mentoring.


           Kesulitan mengembangkan mentoring/pembinaan yang bersifat kelompok di Madrasah disinyalir karena warga sekolah termakan isu radikalisme yang dikaitkan dengan tindakan ekstrimisme seperti pemboman dsb, atau bahkan termakan isu jaringan-jaringan yang bertolak belakang dengan Islam. Padahal Ekstirmisme dan Radikalisme itu berbeda. “Setiap orang yang mengajarkan Al wala’ wal Baro’ akan dicap sebagai orang fundamentalis. Setiap orang Islam pasti muaranya Al wala’ wal Baro" ujar ustadz Aris Munandar dalam bedah buku Konspirasi Gerakan Deradikalisasi.  Padahal keislaman seseorang itu bermuara pada wala' (mencintai apa yang Allah cintai) dan bara' (membenci apa yang Allah benci). Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam: "Tali iman paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (HR. Ibnu Jarir) 


               Pemahaman yang parsial maupun pengetahuan yang tidak dibarengi dengan pemahaman dapat membuat sesorang merasa pintar dan mudah melakukan "judgment" pada kegiatan-kegiatan yang sebenarnya berbau syariat. Hal ini yang terjadi pada Kementrian Agama baru-baru ini terkait korupsi pengadaan Al Quran. Pengetahuan agama didahulukan daripada pemahaman agama ketika menjaring pegawai Kemenag dsb. Alat evaluasi tertulis rasanya tidak bisa membuktikan bahwa orang itu memahami agama atau tidak, karena tes tertulis lebih banyak mengukur pengetahuan. Degradasi moral ini terjadi karena tidak adanya rasa wala' dan bara' pada oknum yang terkait.

        Kembali kepada akar yang kuat, jika dilihat dari keilmuwan, Masa remaja disebut juga masa adolesence. Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Dipertegas dalam pendapat Anna Freud (dalam Hurlock, 1990)  bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan denperti gan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Kemudian ditambah lagi oleh hasil penelitian Erick Erikson dalam teori psikososial bahwa usia remaja itu masuk kedalam tahapan Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas). 


          Pembinaan yang menggunakan pendekatan Qur'ani seperti mentoring sangat dibutuhkan remaja dalam proses pencarian jati diri. Karena jika dasar keislamannya kuat, maka remaja akan kuat menempuh kehidupannya, sehingga tidak tergerus zaman, dan menjadikan Al Quran sebagai pedoman, dengan mengimani apa yang ada didalamnya, bukan sekadar mengetahui. Sehingga dalam setiap langkah terngiang:
"Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.QS. al-baqarah:2"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar